Hari Minggu, tepatnya tanggal 3 Januari 2013, ada
acara study tour yang rencananya akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di
Kabupaten Tulungagung, yaitu tepatnya ke Candi Sanggrahan, Candi Gayatri, dan
Museum Daerah Tulungagung. Sebelumnya kami berkumpul di sekolah pukul 07.00
WIB, dan kemudian menurut rencana akan berangkat pukul 07.30, namun karena ada
beberapa rekan yang terlambat maka keberangkatan jadi molor hingga pukul 07.45
WIB. Tujuan pertama adalah Candi Sanggrahan, yang berada di Kecamatan
Boyolangu, dan perlu diketahui lokasi yang dituju semuanya berada di lingkungan
Kecamatan Boyolangu.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 08.05 WIB,
seperti halnya ciri khas dari mayoritas candi di Jawa Timur, bangunan Candi
Sanggrahan menghadap ke barat atau menghadap mentari terbenam, selain itu juga
terbuat dari batu bata. Bentuk dari bangunan candi juga memakai ciri khas
bangunan Nusantara yaitu Punden Berundak. Diperkirakan candi ini dibangun pada
masa kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk sekitar abad ke-12 sampai 13
Masehi. Nama candi Sanggrahan dapat diartikan sebagai tempat persinggahan,
karena di tempat inilah diperkirakan rombongan kerajaan Majapahit singgah
sebelum menuju ke Candi Gayatri. Kondisi dari gapura atau Bentar dari candi ini
sudah dalam keadaan rusak dimakan usia, selain itu Panel di bagian atas candi,
gambarnya sudah terkikis, sehingga hanya tinggal panel saja tanpa gambar, namun
untuk Panel di bagian bawah candi masih dalam keadaan utuh lengkap dengan
gambarnya. Di bagian timur candi terdapat dolmen yang bentuknya mirip nekara
yang cukup besar dan berfungsi sebagai tempat sesaji. Di bagian timur candi
juga terdapat reruntuhan dari bangunan Perwara, atau pendamping candi.
Setelah puas berkeliling komplek Candi
Sanggrahan, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, yaitu Candi
Gayatri, tepatnya berada di bagian Barat dari Candi Sanggrahan. Kami sampai di
lokasi candi pada pukul 08.55 WIB, sebuah gang kecil menyambut kami sebelum
memasuki lingkungan Candi dari nenek Hayam Wuruk, sang raja Majapahit. Keadaan candi
ini bisa dibilang lebih mirip reruntuhan, tapi menurut penjaga candi, bangunan
ini telah ditemukan dengan kondisi seperti itu pada tahun 1914 Masehi. Yang tersisa
dari candi ini adalah reruntuhan bangunan inti dengan patung Gayatri Rajapatni
dengan kepala yang sudah hilang, di lokasi ini juga terdapat reruntuhan candi
perwara. Di bangunan inti juga terdapat Umpak yang berjumlah sembilan buah,
sehingga dapat diperkirakan candi ini memiliki cungkup yang cukup besar. Pada patung
Gayatri digambarkan sedang duduk diatas Bunga Patma, yaitu tempat dilahirkannya
Budha, jadi dapat dikatakan bahwa Gayatri Rajapatni menganut agama Budha,
diperkirakan abu jenazah dari nenek Hayam Wuruk ini ditanam di candi ini. Sesuatu
yang amat disayangkan adalah banyak ditemukannya Vandalisme, atau
coretan-coretan yang dapat dikatakan merusak keberadaan situs sejarah ini. Di tempat
ini juga terdapat beberapa peralatan yang digunakan dan masih dipakai untuk
acara ritual tertentu.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju ke Museum
Daerah Tulungagung, kami sampai di lokasi sekitar pukul 09.30 WIB. Suasana museum
ini sepi, seolah tak ada yang pernah mengunjungi, tapi walau sepi kondisinya
lingkungannya bersih, sehingga cocok juga untuk tempat diskusi atau sekedar
bersantai sambil mengenal beberapa koleksi benda bersejarah yang disimpan di
museum ini. Di tempat inilah terdapat replika dari fosil tengkorak Homo
Sapiens Wajakensis yang diperkirakan hidup sekitar 40.000 tahun yang lalu. Fosil
ini pernah ditemukan oleh Eugene Dubois sekitar tahu 1880-1890 Masehi, dan ini
merupakan fosil tengkorak yang pertama kali ditemukan di Indonesia. Di bagian
sebelah utara museum terdapat beberapa prasasti dengan ukuran yang cukup besar,
sedangkan di bagian dalam museum lebih didominasi dengan koleksi patung atau
arca. Beberapa hal yang menarik adalah adanya arca Ganesha, Nandi atau lembu,
arca Kera, dan juga Yoni yang merupakan lambang kesuburan, Yoni ini biasa
ditemukan di persawahan, dengan harapan sawah tersebut akan menjadi subur. Satu
hal yang amat disayangkan dari Museum Daerah Tulungagung ini adalah banyak
benda-benda purbakala yang dalam keadaan tidak teridentifikasi, sehingga bisa
dikatakan dapat mempersulit pengunjung untuk mengenali secara intensif
benda-benda purbakala tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar