Kamis, 07 Februari 2013

Study Tour : Menapaki Reruntuhan Masa Lalu



Hari Minggu, tepatnya tanggal 3 Januari 2013,  ada acara study tour yang rencananya akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kabupaten Tulungagung, yaitu tepatnya ke Candi Sanggrahan, Candi Gayatri, dan Museum Daerah Tulungagung. Sebelumnya kami berkumpul di sekolah pukul 07.00 WIB, dan kemudian menurut rencana akan berangkat pukul 07.30, namun karena ada beberapa rekan yang terlambat maka keberangkatan jadi molor hingga pukul 07.45 WIB. Tujuan pertama adalah Candi Sanggrahan, yang berada di Kecamatan Boyolangu, dan perlu diketahui lokasi yang dituju semuanya berada di lingkungan Kecamatan Boyolangu.
Kami tiba di lokasi sekitar pukul 08.05 WIB, seperti halnya ciri khas dari mayoritas candi di Jawa Timur, bangunan Candi Sanggrahan menghadap ke barat atau menghadap mentari terbenam, selain itu juga terbuat dari batu bata. Bentuk dari bangunan candi juga memakai ciri khas bangunan Nusantara yaitu Punden Berundak. Diperkirakan candi ini dibangun pada masa kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk sekitar abad ke-12 sampai 13 Masehi. Nama candi Sanggrahan dapat diartikan sebagai tempat persinggahan, karena di tempat inilah diperkirakan rombongan kerajaan Majapahit singgah sebelum menuju ke Candi Gayatri. Kondisi dari gapura atau Bentar dari candi ini sudah dalam keadaan rusak dimakan usia, selain itu Panel di bagian atas candi, gambarnya sudah terkikis, sehingga hanya tinggal panel saja tanpa gambar, namun
untuk Panel di bagian bawah candi masih dalam keadaan utuh lengkap dengan gambarnya. Di bagian timur candi terdapat dolmen yang bentuknya mirip nekara yang cukup besar dan berfungsi sebagai tempat sesaji. Di bagian timur candi juga terdapat reruntuhan dari bangunan Perwara, atau pendamping candi.
Setelah puas berkeliling komplek Candi Sanggrahan, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, yaitu Candi Gayatri, tepatnya berada di bagian Barat dari Candi Sanggrahan. Kami sampai di lokasi candi pada pukul 08.55 WIB, sebuah gang kecil menyambut kami sebelum memasuki lingkungan Candi dari nenek Hayam Wuruk, sang raja Majapahit. Keadaan candi ini bisa dibilang lebih mirip reruntuhan, tapi menurut penjaga candi, bangunan ini telah ditemukan dengan kondisi seperti itu pada tahun 1914 Masehi. Yang tersisa dari candi ini adalah reruntuhan bangunan inti dengan patung Gayatri Rajapatni dengan kepala yang sudah hilang, di lokasi ini juga terdapat reruntuhan candi perwara. Di bangunan inti juga terdapat Umpak yang berjumlah sembilan buah, sehingga dapat diperkirakan candi ini memiliki cungkup yang cukup besar. Pada patung Gayatri digambarkan sedang duduk diatas Bunga Patma, yaitu tempat dilahirkannya Budha, jadi dapat dikatakan bahwa Gayatri Rajapatni menganut agama Budha, diperkirakan abu jenazah dari nenek Hayam Wuruk ini ditanam di candi ini. Sesuatu yang amat disayangkan adalah banyak ditemukannya Vandalisme, atau coretan-coretan yang dapat dikatakan merusak keberadaan situs sejarah ini. Di tempat ini juga terdapat beberapa peralatan yang digunakan dan masih dipakai untuk acara ritual tertentu.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju ke Museum Daerah Tulungagung, kami sampai di lokasi sekitar pukul 09.30 WIB. Suasana museum ini sepi, seolah tak ada yang pernah mengunjungi, tapi walau sepi kondisinya lingkungannya bersih, sehingga cocok juga untuk tempat diskusi atau sekedar bersantai sambil mengenal beberapa koleksi benda bersejarah yang disimpan di museum ini. Di tempat inilah terdapat replika dari fosil tengkorak Homo Sapiens Wajakensis yang diperkirakan hidup sekitar 40.000 tahun yang lalu. Fosil ini pernah ditemukan oleh Eugene Dubois sekitar tahu 1880-1890 Masehi, dan ini merupakan fosil tengkorak yang pertama kali ditemukan di Indonesia. Di bagian sebelah utara museum terdapat beberapa prasasti dengan ukuran yang cukup besar, sedangkan di bagian dalam museum lebih didominasi dengan koleksi patung atau arca. Beberapa hal yang menarik adalah adanya arca Ganesha, Nandi atau lembu, arca Kera, dan juga Yoni yang merupakan lambang kesuburan, Yoni ini biasa ditemukan di persawahan, dengan harapan sawah tersebut akan menjadi subur. Satu hal yang amat disayangkan dari Museum Daerah Tulungagung ini adalah banyak benda-benda purbakala yang dalam keadaan tidak teridentifikasi, sehingga bisa dikatakan dapat mempersulit pengunjung untuk mengenali secara intensif benda-benda purbakala tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar